Oleh : Prof.Dr.Murpin Josua Sembiring.S.E.,M.Si
Ketua Persatuan Profesor/Gurubesar Indonesia Propinsi Jawa Timur
Gurubesar Universitas Ciputra Surabaya.
Ketua Umum Koperasi Sekunder Nasional Binaan Profesor
Gelombang protes atas kenaikan pajak daerah kembali terjadi di berbagai wilayah. Dari desa hingga kota, warga menolak lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pungutan lain yang dianggap tiba-tiba dan memberatkan. Puncaknya terjadi di Pati, Jawa Tengah, ketika PBB-P2 naik hingga 250 persen. Protes besar memaksa pemerintah daerah membatalkan kebijakan tersebut, tetapi meninggalkan luka kepercayaan publik.
Secara normatif, kebijakan pajak daerah sah berdasarkan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) serta rentang pajak hiburan 40–75 % yang dipastikan berlaku oleh putusan Mahkamah Konstitusi (3 Januari 2025). Namun secara sosial, legitimasi kebijakan ini belum kokoh. Hal ini menegaskan dilema klasik: hukum memberi dasar, tetapi penerimaan sosial belum terbentuk dan tidak dibentuk oleh Pemerintah kita.
Hakikat Pajak dan Kepercayaan Publik
Pajak adalah instrumen menghadirkan kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan. Banyak negara membuktikan bahwa beban pajak tinggi dapat berjalan bersama layanan publik unggul, sementara sebagian lain tetap makmur dengan tarif pajak rendah. Pembeda utamanya adalah kepercayaan publik: masyarakat yakin uang dikelola bersih, pejabat hidup sederhana, dan korupsi ditekan sistematis. Tanpa hal ini, tarif berapa pun dipersepsi sekadar “pungutan”, bukan “gotong royong fiskal”.
Pelajaran dari Negara Pajak Tinggi
Denmark, Swedia, dan Prancis menjadi contoh klasik. Data OECD 2023 mencatat rasio pajak terhadap PDB: Denmark 43,4 % , Swedia 41,4 % , Prancis 43,8 % . Beban tinggi tersebut diterima warga karena imbal baliknya nyata: kesehatan universal, pendidikan gratis, jaminan sosial kuat, dan tata kelola relatif bersih.
Negara-negara Nordik pun konsisten berada di puncak World Happiness Report. Korelasinya jelas: bukan sekadar banyak uang yang dihimpun, melainkan tingkat kepercayaan tinggi pada institusi. OECD juga mencatat “trust in government” mereka di atas rata-rata, memperlihatkan bagaimana kepercayaan mendorong kepatuhan sukarela.
Pelajaran dari Negara Pajak Rendah atau Moderat
Di sisi lain, Singapura dan Hong Kong membuktikan kemakmuran bisa diraih dengan rasio pajak rendah. Tahun 2023, Singapura hanya 13,6?n Hong Kong 13 % jauh di bawah rata-rata OECD 33,9 % . Swiss berada di level moderat (27,1 % ), tetapi tetap memiliki layanan publik andal dan stabilitas makro kuat.
Kesamaan mereka adalah administrasi pajak efektif, korupsi sangat rendah, dan belanja publik disiplin. Data Transparency International (2024) menunjukkan Denmark (skor 90), Finlandia (88), dan Singapura (84) menduduki peringkat teratas dunia dalam Indeks Persepsi Korupsi. Fondasi inilah yang menjadikan perdebatan pajak bergeser dari “menolak total” menjadi “berapa optimal dan untuk apa”.
Posisi Indonesia
Indonesia masih menghadapi tantangan. Rasio pajak terhadap PDB stagnan di sekitar 12 % (estimasi 2024, CEIC), jauh di bawah rata-rata OECD. Padahal kebutuhan pembiayaan meningkat: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, hingga adaptasi iklim.
Masalah utamanya adalah cara meningkatkan penerimaan. Protes Pati menunjukkan bahwa kenaikan tarif mendadak tanpa komunikasi dipersepsi tidak adil. Keadilan prosedural (warga diajak bicara) dan keadilan distributif (perlindungan kelompok rentan) adalah kunci. Kebijakan nasional yang sah secara hukum perlu dieksekusi daerah dengan sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi wajib pajak.
Kunci Sukses : Trust, Kesederhanaan, dan Antikorupsi
Tiga simpul utama yang menentukan keberhasilan kebijakan pajak:
Kepercayaan Publik.
Kepercayaan bukan datang dari slogan, tetapi rekam jejak layanan. Data OECD dan World Happiness Report menunjukkan korelasi erat antara trust, kepuasan hidup, dan dukungan pada pajak.
Gaya Hidup Sederhana Aparat.
Pejabat dengan fasilitas mewah memperkuat kesan ketidakadilan. Negara dengan skor korupsi terbaik justru menjaga standar integritas dan kesederhanaan.
Antikorupsi Sistemik.
Pengawasan berbasis data, pelaporan real-time, e-procurement terbuka, dan sanksi tegas meningkatkan rasa adil. Indikator Worldwide Governance Indicators Bank Dunia menegaskan pentingnya kapasitas institusi, dengan Singapura sebagai contoh ekstrem keberhasilan.
Rekomendasi Praktis bagi Indonesia
Gradualisme tarif: batasi kenaikan tahunan dengan persentase tertentu dan beri masa transisi.
Partisipasi bermakna: ajak bicara Koperasi, serikat pekerja, UMKM, petani, pensiunan, hingga asosiasi bisnis lokal sebelum penetapan.
Perlindungan kelompok rentan: beri pembebasan/pengurangan PBB bagi pensiunan, petani kecil, warga miskin, serta paket relief Koperasi dan UMKM.
Earmarking parsial : tautkan kenaikan langsung ke proyek layanan (jalan, drainase, puskesmas) dengan laporan publik terbuka.
Disiplin belanja aparat : pangkas fasilitas mewah (mobil dinas, ajudan, perjalanan dinas dengan banyaknya staf pengikut, studi banding yang tidak penting dll) dan alihkan anggaran ke pelayanan publik.
Digitalisasi administrasi pajak: satu kanal terintegrasi untuk pendaftaran, penilaian, keberatan, pembayaran, hingga audit. Melarang keras hubungan pribadi pejabat/petugas pajak dengan pengusaha besar dan Menenggah terkait manipulasi/tax planning yang memperkaya pribadi/merugikan uang negara.
Komunikasi berbasis data : jelaskan alasan kenaikan, proyeksi penerimaan, proyek yang dibiayai, dan bentuk kompensasi.
Sinkronisasi pusat-daerah : kebijakan nasional seperti PPN 12 % harus diterjemahkan daerah sesuai dampak sektoral setempat.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah perlu lebih inovatif agar BUMN dan BUMD didorong menjadi mesin pencetak nilai ekonomi, sementara koperasi dan UMKM diberdayakan sebagai instrumen pemerataan. Dengan begitu, kenaikan pajak bukan satu-satunya tumpuan fiskal.
Jalan Tengah Untuk Indonesia
Baik negara pajak tinggi maupun rendah bisa sama-sama sejahtera. Benang merahnya adalah kepercayaan: integritas, kesederhanaan, dan kompetensi. Indonesia dapat mencapai titik tersebut, tetapi bukan dengan kenaikan tarif mendadak (ciri pejabat tidak mau berpikir fundamental dan kalkulatif terhadap dampak ikutannya) sambil berharap masyarakat memahami niat baik pemerintah.
Yang dibutuhkan adalah kontrak sosial baru (the new zitizen charter): setiap rupiah pajak dikembalikan dalam layanan nyata, pejabat hidup sederhana, korupsi ditindak tegas, dan warga dilibatkan sejak awal/aspirasi masyarakat didengarkan. Bila empat pilar ini dipegang, pajak akan kembali dipandang sebagai gotong royong, bukan beban. Pada saat itu, protes mereda dan tujuan sejati pajak tercapai: menghadirkan kesejahteraan, keamanan, pemerataan ekonomi rakyat dan kenyamanan bagi semua kita. (*)
BACA BERITA LAINNYA DI
GOOGLE NEWS
