Skip to content
Lingkar Peristiwa
Menu
  • Beranda
  • Berita
  • Daerah
  • Nasional
  • Peristiwa
  • Gaya Hidup
  • Sport
  • Dunia
Menu

Bagaimana Aturan Royalti di Kafe dan Ke Mana Uangnya Mengalir?

Posted on Agustus 7, 2025


Musisi, masyarakat, dan pelaku usaha dibenturkan dalam persoalan pembayaran royalti lagu, sementara pemerintah hanya jadi penonton, menurut pengamat. Informasi dan sosialisasi royalti musik oleh pemerintah selama ini disebut sangat minim.

Beberapa pekan terakhir, pelaku usaha cemas, terutama saat pengelola restoran Mie Gacoan di Bali dijadikan tersangka karena memutar lagu tanpa membayar royalti. Akibatnya, banyak restoran dan kafe kini membiarkan tempat usahanya hening.

Di sisi lain, kelompok musisi mempertanyakan transparansi laporan rinci dari uang royalti yang berhak mereka dapatkan. Aspek “informasi prosedur dan penghitungan royalti yang terbatas” ini membuat sebagian pemusik belum mendaftarkan diri ke lembaga pengelola royalti yaitu Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Sejak Maret lalu, 29 musisi mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan royalti. Pengajuan uji materiil tersebut telah terdaftar dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.

Pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)—yang bertanggung jawab mengutip royalti—didesak memberikan solusi nyata terkait polemik royalti lagu.

Kafe dan restoran mendadak tak memutar lagu

Hanya terdengar deru mesin kopi bercampur obrolan pelan dari empat pengunjung di salah satu waralaba kedai kopi di kawasan Cikini, Jakarta, pada Senin (04/08).

Kedai itu rutin menyuguhkan lagu kekinian dari domestik hingga mancanegara, tapi lagu-lagu tersebut tak terdengar lagi siang itu.

“Ada semingguan enggak boleh pasang lagu lagi. Katanya karena harus bayar,” ucap Sinta (29), salah seorang pelayan di kafe tersebut.

Sinta dan beberapa teman karyawannya biasanya memutar lagu yang tengah populer dari gawai yang disambungkan ke pengeras suara

bluetooth

. Kedai tersebut sudah berlangganan salah satu layanan musik digital yang difungsikan khusus untuk memutar lagu-lagu populer ketika kedai beroperasi.

Sinta mengaku baru mengerti jika berlangganan layanan musik digital bukan berarti lagu-lagu dari layanan tersebut boleh digunakan di tempat komersil.

“Ternyata cuma boleh

didengerin

sendiri ya. Mikirnya kan ini

udah

langganan, jadi ya bebas mau disetel di mana-mana,” kata Sinta.

Bagi dia, musik di tempatnya bekerja ini bukan hanya untuk menghibur pengunjung tapi juga menjadi penyemangat mereka bekerja.

“Kadang kita pasang lagu yang kita suka juga biar enak mood-nya. Sekarang ya sepi

aja

begini,” ucapnya.

Di Semarang, Jawa Tengah, lagu kelompok musik Reality Club berjudul

Is It The Answer

masih mengisi suasana kafe minimalis di dekat Simpang Lima yang Senin (04/08) siang itu tidak begitu ramai.

Menurut Temy (35) yang sudah sekitar tujuh tahun bekerja di kafe itu, musik sudah rutin menemani para pengunjung menyeruput kopi dan menikmati kudapan sambil berbincang.

Seperti kedai kopi di Jakarta, kafe itu juga sudah berlangganan layanan musik digital untuk memperdengarkan musik bagi para pengunjung.

Ia mengatakan akan mencari solusi lain, jika kafenya harus membayar royalti musik.

“Kalau kebijakan itu untuk musik Indonesia saja, kita pilih yang dari luar saja. Kalau sama-sama kena royalti, ya enggak usah pakai musik sekalian,” kata Temy kepada wartawan Kamal untuk BBC News Indonesia.

Khalis, pemilik kafe di Kota Medan, Sumatra Utara, juga memutar beragam genre musik melalui layanan musik digital untuk menghibur para pelanggan. Ia khawatir para pengunjung yang dominan anak muda enggan datang jika kafenya tak lagi memutar musik.

Namun, ia mengaku akan patuh jika ada aturan yang mewajibkan membayar royalti musik.

“Kalau sekarang saya kurang setuju [pengutipan royalti]. Tapi kalau pemerintah sudah menjalankan dengan lebih tegas, saya sebagai pemilik usaha terpaksa mengikutinya,” ujar Khalis kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara untuk BBC News Indonesia.

Berbeda dengan Khalis, Fadli selaku pemilik kafe lainnya di Kota Medan merasa musik tidak begitu penting bagi pelanggannya.

Oleh karena itu, Fadli tidak ambil pusing perihal royalti lagu. “Karena dari awal kami tidak memakai musik, kami tidak pernah membayar itu [royalti lagu],” ujarnya.

Secara terpisah, Boby (41) yang merupakan manajer kafe di Kota Semarang mengaku terkejut dengan kebijakan royalti yang dibebankan kepada pengusaha kafe, resto, hotel dan lainnya.

“Semua pengusaha kafe juga lagi sibuk bahas itu di grup Whatsapp pengusaha kafe Semarang. Sampai ada

list

musik yang tidak mempermasalahkan jika diputar di kafe, seperti Peterpan, Iwan Fals, dan lainnya,” ungkapnya sambil menunjukkan telepon genggam miliknya.

Bagi Boby, bukan hanya persoalan royaltinya. Menurutnya, sosialisasi pemerintah juga dinilai kurang sehingga banyak pelaku usaha yang belum mengetahui aturan ini. Ia juga mempertanyakan, distribusi uang royalti ini apakah benar masuk ke para musisi.

“Jangan-jangan dibuat

aji mumpung

[peluang] buat pemerasan berbentuk undang-undang,” kata Boby.

Bagaimana aturan royalti musik? Bagaimana dengan suara alam dan kicau burung?

Pembayaran royalti ini sebenarnya sudah diatur melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Dalam PP tersebut, ada 14 bentuk layanan publik yang bersifat komersial, sehingga penggunaan lagu dan musik di lokasi tersebut patut membayar royalti. Antara lain:

  1. Seminar dan konferensi komersial
  2. Restoran, kafe, pub, bar, bistri, kelab malam, dan diskotek
  3. Konser musik
  4. Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal lait
  5. Pameran dan bazar
  6. Bioskop
  7. Nada tunggu telepon
  8. Bank dan kantor
  9. Pertokoan
  10. Pusat rekreasi
  11. Lembaga penyiaran televisi
  12. Lembaga penyiaran radio
  13. Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel
  14. Usaha karaoke

Penarikan dan pengelolaan royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Royalti dikumpulkan berdasarkan laporan penggunaan data lagu/musik yang terdaftar di Sistem Informasi Lagu/Musik.

Dari pengumpulan royalti itu, hasilnya didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Untuk tarif, aturannya tercantum pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016.

Acara konser, misalnya, promotor harus membayarkan hasil kotor penjualan tiket (

gross ticket box

) dikali 2% ditambah dengan tiket yang digratiskan dikali 1%. Tarif hotel didasarkan jumlah kamar, pertokoan sesuai dengan luasannya.

Sistem yang digunakan terkait tarif ini adalah sistem

blanket

. Sistem ini memasang tarif tetap yang dikenakan pada tempat usaha untuk memutar seluruh katalog musik yang dilindungi tanpa batas lagu atau frekuensi pemutaran. Tarif berlaku selama satu tahun dan bisa diperbarui.

Jadi, pembayaran tarifnya bukan per lagu atau berapa banyak lagu diputar.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, memahami ada persepsi yang berbeda dari para pelaku usaha. Salah satunya ketika sudah berlangganan layanan musik digital dianggap sudah menunaikan legalitas terkait pemutaran musik di ruang publik.

“Padahal aturannya tidak demikian. Ini yang belum dipahami oleh semua pelaku usaha. Pemerintah harus jelas melakukan sosialisasinya agar tidak ada banyak persepsi yang ujung-ujungnya malah pidana,” kata Yusran.

Kurator musik, Dimas Ario Adrianto, menyampaikan membeli rilisan fisik atau berlangganan layanan musik digital itu hanya untuk digunakan pribadi. “Haknya tidak otomatis meliputi pemutaran di ruang usaha.”

Ketika lagu/musik diputar kepada pelanggan itu dinilai sebagai penggunaan komersial dan perlu membayar lisensi pengumuman yang di dalamnya mengandung: hak atas komposisi musik dan hak atas rekaman suara yang disalurkan LMK.

Hal ini juga berlaku untuk pemutaran lagu via radio maupun televisi. Lagunya juga meliputi lagu Indonesia dan luar negeri.

Lagu religi hingga lagu daerah pun bisa terkena royalti hak terkait atas rekaman suara ulang atau

cover version

. “Komposisi musiknya bisa bebas royalti, tapi rekaman suara ulangnya bisa kena hak terkait.”

Bahkan rekaman suara alam, kicau burung, dan lain-lain tetap disebut sebagai fonogram karena ada musisi, produser, dan label yang merekam hingga merilis audionya.

“Hak atas fonogram itu termasuk hak terkait. Jadi, pemutarannya di ruang publik tetap wajib dapat royalti,” kata Dimas.

Bagaimana penerapan royalti selama 10 tahun?

Meski rutin menerima laporan tiap tahun, penyanyi Dewi Gita mengaku penghitungan royalti dari LMKN ini kurang transparan. Hal ini juga yang selalu menjadi tuntutan para pencipta lagu dan pemegang hak cipta.

“Para pencipta lagu atau yang punya hak cipta kadang merasa tidak puas. Yang merasa lagunya memang hits, tapi kok dapatnya sedikit? Penghitungannya itu seperti apa, datanya seperti apa? Misal yang dapat sedikit walau lagunya hits itu ternyata hitsnya hanya di Jakarta bagian mana, tapi di daerah lain tidak. Ini perlu diketahui pencipta lagu,” ujar Dewi.

Ia pun berharap LMK lebih tertib dan transparan. Selama ini, laporan yang sampai hanya besaran persentase dan nominal yang dibayarkan.

“Di situ hanya tertulis, misal laguku

Penari

sepanjang 2024 hanya diputar 1%, terus dapatnya 150 perak (Rp150). Hanya

gitu doang

. Jadi, memang kurang detil dan kurang penjelasan. Enggak ada 1% di area mana, di lingkup mana,” kata Dewi.

“Ingin lebih jelasnya di situ, enggak hanya kesannya ya

udah

lah dapat segitu ya

udah aja

. Banyak pencipta lagu yang menginginkan haknya benar-benar transparan dan benar-benar didapatkan sejelas mungkin,” tambahnya.

Ia mengajak para musisi juga lebih aktif. Bagi yang sudah mendaftar, menurut Dewi, sebaiknya gencar berusaha dan tidak menyerah karena ini berkaitan dengan hak.

Bagi yang belum mendaftar, ia menyarankan untuk mendaftar karena caranya juga tidak sulit hanya memasukkan identitas diri, karya, dan rekening aktif.

Penyanyi Melly Goeslaw dalam unggahannya juga membeberkan perolehan royalti dalam setahun yaitu sebesar Rp4,9 juta. Ia menekankan royalti memang nominalnya tidak bersifat tetap sehingga ia tetap mendorong transparansi dari LMK. “Kadang bisa

gede banget

, kadang bisa kecil

banget

,” ujar Melly.

Gitaris Satriyo Yudi Wahono, atau Piyu dari kelompok musik Padi Reborn, mengungkapkan kepada

Kompas.com

, nominal royalti yang ia terima melalui LMKN/LMK tahun lalu sekitar Rp125.000. Pada 2022, royalti yang diterima sekitar Rp349.283.

Pengamat musik, Wendi Putranto, menyadari metode distribusi yang dianggap tidak akurat ini memunculkan masalah kepercayaan.

“Jadi ada

trust issue,

bagaimana metode yang akurat nih untuk bisa menghasilkan

report

yang

fair

gitu. Karena kan pembagian royaltinya juga masih agak membingungkan.”

Sementara itu, sejumlah musisi seperti Endah Widiastuti mengaku royalti dikumpulkan dan dikelolanya mandiri via agregator. Jenis royalti ini berbeda lagi dengan royalti yang kini sedang ramai dibicarakan.

Royalti melalui aggregator atau layanan musik digital atau pelantar digital lainnya ini disebut royalti mekanis. Royalti yang saat ini tengah ramai berkaitan dengan konser dan pemutaran di ruang publik disebut royalti pertunjukan/pengumuman.

Tim pengawas LMKN dan LMK, Candra Darusman, menjelaskan perolehan dari LMKN jika dibandingkan pada eranya pada 1991 memang mengalami peningkatan pesat. Saat itu, royalti yang dikumpulkan sekitar Rp495 juta. Pada 2024, distribusi royalti mencapai Rp54,2 miliar berdasarkan data dari LMKN.

Meski mengalami peningkatan, Candra sebagai pengawas terus menekankan transparansi. “Pembagian royalti harus lebih adil dan transparan dan untuk itu tentu diperlukan infrastruktur, data dan juga solusi IT yang tepat guna, yang pas buat mereka,” ucap Candra.

Menurut Candra, urusan transparansi ini juga menjadi tanggung jawab LMK lain. Ada 12 LMK yang menjadi tempat LMKN menyalurkan hasil pengumpulan royaltinya. LMK ini yang berkewajiban melakukan transfer ke para penerimanya.

“Kami menilai ada LMK yang bagus dan profesional. Ada LMK yang tidak. Itu kami laporkan semua kepada menteri hukum yang harus mengambil keputusan apakah diperpanjang atau tidak izin operasional LMK itu. Anggota bisa bertanya pada LMK masing-masing.”

Candra menjelaskan mengenai cara penghitungan royalti yang didistribusikan kepada musisi dan pencipta lagu. Secara umum, ada nilai satu kali putar yang diperoleh dari jumlah royalti terkumpul dibagi jumlah lagu yang diputar dalam setahun berdasarkan laporan pemakaian lagu dari para pengguna yang melaporkan.

“Nah, nilai satu kali putar untuk tiap pencipta lagu atau musisi ini tergantung prestasi lagu. Kalau lagu diputar terus-menerus gitu atau lagi hits gitu ya dapatnya banyak gitu. Secara umum, formulanya begitu,” ucap Candra.

Wendi yang pernah menjadi jurnalis musik menuturkan pantauannya sejak 2008, urusan royalti masih ada kendala, terutama terkait edukasi dan sosialisasi pada masyarakat agar informasi yang diterima tidak simpang siur.

“Dari sisi kesadaran para penggunanya ini masih cukup rendah. Tapi mungkin karena dari sisi edukasinya masih belum berjalan karena masih banyak korporasi dan para pengusaha yang belum memahami konsep hak cipta di sini,” kata Wendi.

“Bagaimana hak cipta itu bekerja. Karena ini adalah aturan legal formal dari undang-undang yang mana itu memiliki sanksi juga sebenarnya.”

Uang royalti mengalir ke mana?

Boby (41) manajer salah satu kafe di Semarang sempat melihat isi aturan tarif dari temannya yang juga memiliki kafe.

“Angka Rp120.000 per kursi itu sangat besar. Meja dengan empat kursi itu, belum tentu yang nempati empat. Bisa dua atau tiga. Kalau lagi sepi gitu, jangan kan untung. Balik modal saja sudah bersyukur,” kata Boby.

Menurut dia, omzet yang diperolehnya menurun sejak Juli 2025. Kondisinya, ujar dia, justru lebih berat dibandingkan masa pandemi. Atas hal itu, ia sedang melakukan pengurangan karyawan dan pengaturan ulang jam kerja.

“Jujur meresahkan ya. Indonesia ini lagi banyak isu, daya beli turun, isu perpajakan, rekening diblokir. Nah, sekarang ada royalti,” ujarnya.

Temy (35), pekerja kafe di Semarang juga menyatakan pendapatan tempatnya bekerja menurun. “Pastinya

ngefek

[pembayaran royalti], karena ada pengeluaran tambahan lagi,” ucap Temy.

Sekjen PHRI, Maulana Yusran, mengatakan aturan okupansi dan jumlah kursi ini tak ada simulasi penghitungannya yang membuat para pelaku usaha kebingungan mengingat pembayaran royalti ini bisa masuk menjadi biaya tetap operasional bisnis jika merujuk aturan yang ada.

“Persoalannya, usahanya itu sekarang memang jualan lagu untuk bisnis atau hanya untuk membangun mood pengunjung? Kalau sebagai mood saja, pilihannya bisa tidak memutar lagu akhirnya. Tapi kan ada banyak penyanyi atau

home band

kafe yang hidupnya dari hotel, restoran, dan kafe,” ujar Yusran.

Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menyampaikan aturan okupansi dan kursi tersebut tidak dihitung penuh.

“Bukan 100% okupansi atau jumlah kusi dikali 365 hari. Kita beri kemudahan kurang lebih 60% okupansi atau tingkat ketergunaannya dan Rp 120.000 bukan penuh 365 hari, bahkan enggak sampai 300 hari,” ujar Dharma.

Selain itu, bisnis kuliner bahkan kafe yang berskala UMKM diberi keringanan tarif royalti. Besarannya ditetapkan oleh menteri atau Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

Para pelaku usaha mempertanyakan aliran dana royalti ini, bahkan oleh para musisi yang merasa distribusinya kurang transparan.

Dharma menyampaikan pihaknya berusaha transparan dengan rutin menampilkan besaran royalti yang dikumpulkan.

Ketika diperiksa dalam laman

LMKN.id

, data yang diberikan hanya berisi nominal dan distribusi ke tiap LMK. Detil asal royalti hingga penggunaannya tidak tercantum dalam laporan yang diberikan.

Padahal semua royalti ini ada yang mengalir dalam bentuk dana operasional dan dana cadangan. Umumnya, aliran ini didapat dari royalti yang tidak diklaim pemiliknya selama dua tahun atau pemilik hak ciptanya belum terdaftar di LMK.

Dana operasional ini sejatinya digunakan untuk kelangsungan kinerja LMKN yang merupakan lembaga nirlaba dan non-APBN. Dharma mengklaim dan cadangan saat ini digunakan untuk memberikan sumbangan pada para pemilik hak cipta yang mengalami kesulitan finansial atau tengah menderita sakit keras sehingga butuh sokongan keuangan.

Lagi-lagi, detil pelaporan penggunaan untuk dana operasional dan dana cadangan ini tidak tersedia. Kolom

financial statement

di situs LMKN.id jika diklik hanya menampilkan halaman kosong.

Bagaimana dengan skema creative commons?

Pengamat musik, Wendi Putranto, mengatakan musik yang diatur melalui
lisensi

creative commons

bisa jadi salah satu alternatif buat para pemilik tempat bisnis atau tempat usaha.

“Untuk

ambience

di kafe atau

backsound

di

lounge room

, menurut saya [

creative commons

] solusi paling ideal. Karena dengan itu

no copyright

. Jadi enggak ada kewajiban untuk membayar

performing royalty

,” kata Wendi.

Kurator musik Dimas Ario Adrianto juga menyampaikan lisensi

creative commons

ini bisa jadi jalan tengah. Meski di Indonesia, bank lagu dengan lisensi ini agaknya belum tersedia. Kendati demikian, penggunaan

creative commons

ini tetap harus diperiksa izin eksplisitnya untuk dipakai di ruang publik komersial.

Solusi lain adalah menggunakan lagu yang masuk ranah domain publik, yaitu komposisi lagu yang sudah tidak dilindungi hak cipta dengan umur lebih dari 70 tahun setelah pencipta wafat.

Ada juga musik stok yang bisa didapat dari penyedia seperti NoCopyrightSounds. “Tapi penggunaan komersil perlu isi form berbeda dan mungkin ada

fee

tambahan,” kata Dimas.

Dimas pun menekankan, pentingnya pengakuan hak cipta atas karya ini. Persoalan royalti ini masuk dalam hak ekonomi bagi para penciptanya.

Ada juga hak moral sebagai bentuk penghormatan pada penciptanya. Sayangnya, menurut Dimas, kesadaran ini kerap luput.

Dia merujuk tindakan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka beberapa waktu lalu terkait penggunaan lagu band Perunggu dalam unggahannya yang kemudian dipersoalkan salah satu personel band tersebut.

Partai Nasional Demokrat juga mendpaat sorotan karena menggunakan lagu band .feast dalam unggahannya yang menunjukkan pidato Anies Baswedan.

Penyanyi Dewi Gita menilai kurangnya edukasi pada masyarakat mengenai apresiasi seni sehingga pembayaran royalti ini kemudian dianggap malah menyusahkan.

“Ini untuk menopang atau mendukung saja kayaknya susah banget karena rasa menghargai seni ini tidak tertanam. Jika itu tertanam, hal-hal seperti ini yang sekarang sedang ribut, tidak akan menjadi satu hal yang rumit.”

Padahal pembayaran royalti atas hak cipta penggunaan musik di ruang publik ini lazim di berbagai negara, dari Amerika Serikat, UK, Prancis, hingga Malaysia.

Kepatuhan di berbagai negara dipengaruhi oleh sosialisasi dan edukasi yang baik, cara dan sistem yang mudah, serta transparansi data dan keuangan.

Wendi kemudian mengingatkan pemahaman mengenai hak cipta ini seharusnya meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Apalagi kini makin menjamur konten kreator yang semestinya paham mengenai hak cipta atas karya.

“Jadi jangan sampai terjadi standar ganda juga. Ketika bikin konten di media sosial, di Youtube, dan sebagainya, peduli royalti. Tapi ketika menggunakan lagu, khususnya lagu yang hits yang copyrights tapi enggak mau bayar royalti. Alasannya bantu promosi,” ujar Wendi.

“Kalau lagunya udah hits, apa yang perlu dipromosikan? Itu kategorinya menggunakan karya,” sambungnya.

Dinda, pengunjung kafe, berpendapat royalti penting guna mendukung perkembangan industri musik Indonesia sekaligus meningkatkan kesejahteraan para musisi pencipta lagu.

“Sebenarnya saya baru tahu beberapa hari ini. Saya kurang tahu seberapa penting [pembayaran royalti], tapi mungkin untuk menghargai musik itu sendiri, pencipta lagunya, aku kira itu penting. Tetapi kebijakannya harus lebih detail, bagaimana mengaturnya, kafe-kafe seperti apa yang benar-benar dikenakan royalti,” ujar dia.

Apa solusinya?

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kementerian Hukum, Agung Damar Sasongko, menegaskan setiap bentuk pemutaran musik di ruang publik oleh pelaku usaha wajib disertai pembayaran royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, juga hanya berjanji akan mencari solusi dari hal ini sehingga para pelaku usaha tidak dirugikan dan para musisi tetap memperoleh haknya. Namun, belum ada upaya nyata.

LMKN bersama Kementerian Hukum pada 4-5 Agustus lalu menggelar diskusi terkait revisi tarif royalti penggunaan lagu/musik di ruang publik.

Pengamat musik, Wendi Putranto, pemerintah sudah sepatutnya turun tangan mengatasi kekisruhan ini. Saat ini, para musisi dan masyarakat juga pelaku usaha seperti sedang dibenturkan.

“Karena saya melihat pemerintah masih menjadi penonton. Padahal seharusnya jadi regulator dan

law enforcement

di sini. Butuh

political will

untuk menjembatani ini.”

  • UU Hak Cipta: Musisi Indonesia terpecah menjadi dua kubu, bagaimana duduk perkaranya?
  • Polemik lagu ‘Bayar, Bayar, Bayar’ band Sukatani – Apakah ini akhir ‘pembungkaman’ kritik terhadap polisi?
  • Hidup musisi memasuki dua tahun pandemi Covid, diselamatkan tabungan hingga jual alat
  • Mengapa lagu Natal ‘All I Want for Christmas is You’ menjadi hit setiap tahun?
  • Musisi Aceh yang karyanya dibredel militer di tengah konflik bersenjata – ‘Disangkakan kita jadi propaganda GAM’
  • The Beatles rilis ‘lagu terakhir’ yang tertunda puluhan tahun
Post Views: 24

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos-pos Terbaru

  • Antisipasi Pengoplosan BBM, Polres Tuban dan Diskopumdag Cek Tangki hingga Sampel Pertalite
  • Polres Tuban Kukuhkan Duta Pelajar Kamtibmas, Dorong Generasi Muda Jadi Pelopor Disiplin dan Keselamatan
  • Polres Tuban Gagalkan Aksi Konvoi 40 Remaja, Amankan 18 Motor
  • Apel Kebangsaan: Polres Tuban dan Buruh Bersatu Wujudkan Tuban Aman dan Sejahtera
  • Transformasi Pelayanan Publik: Polres Tuban Resmikan Struktur Perwira Samapta (Pamapta)

“Berita Tanpa Drama, Hanya Fakta Sebenarnya”

🎙️ Karena publik butuh kebenaran, bukan sensasi. 📰 Kami hadir membawa berita, bukan cerita.

©2025 Lingkar Peristiwa | Design: Newspaperly WordPress Theme